Rabu, 15 Juni 2011

AHLUS SUNNAH WAL JAMAA’AH BERSATU MENOLAK SYI’AH

                                     الحمد لله


                             بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Pada hari Jum’at 10 Juni 2011, pukul 13.00 – selesai di Masjid Al-Furqon Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jl. Kramat Raya 45 Jakarta Pusat, dengan sikap bersama dari KHCholil Ridwan (MUI Pusat), dan Dr. Zain An-Najah (Dewan Dakwah Islam Indonesia), dan Habib Thohir Al Kaff (Ketua Ponpes Al Bayyinat), dan Habib Ahmad Zain Al-Kaff (Div. Dakwah Al Bayinat), dan Ustadz Bahtiar, M.A. (Persatuan Islam), serta Para ustadz dan habib dari ormas-ormas Islam; menyatakan bahwa: Syi’ah adalah Sesat dan Ummat Islam bangsa Indonesia menolak keberadaan mereka dan ajarannyaRead more…

Menyembah Berhala

13 JUNI 2011
Laa Ilaaha Ilallooh” artinya adalah “Tidak ada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya kecuali Allooh”. Dari kalimat tauhiid yang ringkas ini, seorang Muslim seharusnya menunggalkan segala bentuk peribadatan hanya untuk Allooh سبحانه وتعالى, hanya karena Allooh سبحانه وتعالى dan hanya berharap dari Allooh سبحانه وتعالى.
Jika yang demikian itu dikonsekweni, maka berarti dia adalah Ahlut Tauhiid. Akan tetapi, jika berkurang maka dia adalah Ahlusy Syirki. Dan jika semua itu untuk atau pada selain Alloohسبحانه وتعالى, berarti dia adalah Musyrik dan Kaafir. Read more…

Kekeliruan di Bulan Rojab-3

12 JUNI 2011
Tidak dapat disangkal lagi bahwa Allooh سبحانه وتعالى yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan kasih sayang-Nya, senantiasa membukakan peluang dan kesempatan bagi para hamba-Nya untuk berlomba dalam kebajikan dan taqwa dalam rangka mencapai kemuliaan disisi Allooh سبحانه وتعالى. Tetapi perlu diingat bahwa kemuliaan, ketaqwaan & penghambaan seorang hamba bukan justru mendapatkan apa yang dia niatkan, tetapi justru sia-sia bahkan berdosa akibat amalan yang tidak tepat sesuai dengan prosedur sunnah Rosuul صلى الله عليه وسلم. Simaklah melalui ceramah berikut tentang kekeliruan sebagian kaum muslimin dalam mendekatkan diri pada Allooh سبحانه وتعالى di bulan Rojab. Read more…

An Nifaaq-2 : Nifaaq & Penyakit Hati

11 JUNI 2011
Segala sesuatu itu dapat diketahui dengan pengertian dan ciri atau tanda. Dan segala sesuatu, Allooh سبحانه وتعالى sudah beri dia ciri dan tanda. Ciri makhluk itu disebut hidup, maka dia bergerak dan tidak diam, beranak pinak serta bergenerasi, dan seterusnya. Begitupun ke-Islaman dan keimanan kita, pasti keberadaan dan kekukuhan Islam dan Iman pada diri pemeluknya memiliki tanda. Juga keshoolihan dan ketaqwaan pun memiliki tanda. Demikian pula kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan, kemunafikan, bahkan kemurtadan. Read more…

Sholawat Yang Bukan Sholawat

11 JUNI 2011
(Transkrip Ceramah AQI 230511)
KAJIAN- 3 TENTANG PERKARA SHOLAWAT:
SHOLAWAT YANG BUKAN SHOLAWAT
Oleh:  Ustadz Achmad  Rofi’i, LcMM.Pd
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Sholawat adalah Ibadah, karena merupakan perintah secara langsung dari Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an Surat Al Ahzaab (33) ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
Artinya:
Sesungguhnya Allooh dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi*]. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya**].” Read more…

Sholawat (Bagian-2) : Berbagai Redaksi (Kalimat) Sholawat Yang Sesuai Tuntunan Rosuul

1 JUNI 2011
(Transkrip Ceramah AQI 090511)
SHOLAWAT (BAGIAN-2) : BERBAGAI REDAKSI SHOLAWAT
SESUAI TUNTUNAN ROSUULULLOOH صلى الله عليه وسلم
Oleh:  Ust. Achmad  Rofi’i, LcMM.Pd.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Bahasan kali ini adalah berkenaan dengan redaksi (kalimat) Sholawat atas Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Sholawat adalah Ibadah. Dan Ibadah itu hukum asalnya adalah Harom, sampai dengan ada ajarannya atau dalil yang menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil, maka tidak boleh melakukan apa pun. Read more…

Panduan Praktis Bersuci Bagi Muslimah

31 MEI 2011
 PANDUAN PRAKTIS BERSUCI BAGI MUSLIMAH
 oleh: Al Ustaadz Achmad Rofi’i, Lc. MM.Pd.
 
Disampaikan dalam acara:
Dauroh Syar’iyyah AN NAJAT
 —–
Diselenggarakan oleh:
DPP AN NAJAT
 —–
pada:
Ahad, 25 Jumada Ats Tsaani 1432 H
(29 Mei 2011), pkl. 9.00-12.00 WIB
di Masjid Al Hikmah,
Perum Irigasi Bekasi Jaya,
Bekasi Barat
 —–
Muqoddimah :
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على خاتم الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين
وبعد :
Bersuci adalah syarat sahnya Sholat setiap ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم, sehingga tidak akan dinyatakan sah, dan benar; kecuali harus melakukan Bersuci, baik dari Hadats maupun Najis, sesuai dengan tuntunan dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Read more…

Ancaman Tinggalkan Sunnah

24 MEI 2011
As Sunnah atau dikenal juga dengan Al Hadiits adalah pedoman selain Al Qur’an bagi Muslimin. Sudah barang tentu, namanya juga pedoman, jika dia dituruti, dipenuhi dan dipatuhi maka dia pasti akan sampai pada apa yang diidamkan oleh mereka; baik berupa kebahagiaan, keberkahan, pahala yang berlipat, terhindar dari bala’, bahkan surga yang dijanjikan oleh Allooh سبحانه وتعالى.
Akan tetapi jika As Sunnah itu dimusuhi, diperangi, dibenci, diolok-olok, ditinggalkan dan tidak diamalkan maka mereka menjadi orang-orang yang tersesat dari jalan yang lurus, dibayang-bayangi oleh kehampaan hidup, kegelisahan, fitnah yang bertubi-tubi dan silih berganti, bahkan neraka yang membara yang sudah siap menunggu. Read more…

An Nifaaq-1: Tanda-Tanda Kemunafikan

21 MEI 2011
Segala sesuatu itu dapat diketahui dengan pengertian dan ciri atau tanda. Dan segala sesuatu, Allooh سبحانه وتعالى sudah beri dia ciri dan tanda. Ciri makhluk itu disebut hidup, maka dia bergerak dan tidak diam, beranak pinak serta bergenerasi, dan seterusnya. Begitupun ke-Islaman dan keimanan kita, pasti keberadaan dan kekukuhan Islam dan Iman pada diri pemeluknya memiliki tanda. Juga keshoolihan dan ketaqwaan pun memiliki tanda. Demikian pula kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan, kemunafikan, bahkan kemurtadan. Janganlah disepelekan. Ada perkara yang sangat besar dan penting, yang tidak jarang yang bersangkutan itu tidak mengetahui dan tidak menyadarinya. Dia adalah “An Nifaaq” (Kemunafikan). Read more…

Menasehati, Bukan “Menelanjangi”

20 MEI 2011
Karena kebodohan, bisa jadi niat baik itu justru berwujud keburukan. Dan karena hawa nafsu, kebenaran bisa terbungkus menjadi kesesatan. Begitu pula tidak sedikit kekeliruan yang semestinya diluruskan, akan tetapi kenyataannya ada yang membiarkannya sehingga kemunkaran menjadi tumbuh berkembang dan merajalela; dan ada juga yang berusaha memperbaiki kemunkaran tetapi karena kebodohannya dan hawa nafsunya maka bukanlah berakibat menjadi baik, justru sebaliknya menjadi lebih parah dan semakin jauh dari kebenaran.Read more…

LARANGAN BERNYANYI DAN BERJOGET

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Adalah suatu kelemahan dan kejahiilan (kebodohan dalam perkara dien), yang umum terjadi di kalangan ummat Islam, khususnya ummat Islam Indonesia; walaupun mereka menganut dienulIslam dan mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, tetapi sayangnya dalam prakteknya mereka itu melakukan ibadah dan mu’aamalah berdasarkan tradisi nenek moyang dan kebiasaan masyarakat kebanyakan, bukannya berdasarkan ‘ilmu dien. Demikian pula dalam kehidupan keseharian di bidang kesenian dan kebudayaan, mereka mengadopsi kesenian dan kebudayaan tanpa melihat apakah itu sesuai dengan syari’at Islam ataukah tidak. Oleh karena itu, semoga dengan kajian kali ini yang membahas mengenai perkara Bernyanyi dan Berjoget (Al Ghinaa’u War Roqshu), dapat memberikan perubahan bagi kaum muslimin agar mereka dapat kaaffah di bidang kesenian dan kebudayaan.
Bahasan kali ini kita ambilkan dari Kitab yang ditulis oleh Imaam Jalaaluddin As Suyuuthiرحمه الله, masih berkenaan dengan masalah perintah untuk ber-Ittiba’ (mengikuti Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) dan larangan berbuat perkara yang Bid’ah. Dalam kaitan ini, beliau memberikan suatu contoh kepada kita, yang sangat perlu kita ketahui; karena justru kaum Muslimin kebanyakan menggampangkan perkara ini. Menganggap perkara ini halal, dan menganggap biasa perkara ini. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai bagian dari Al Islaam. Padahal justru perkara ini adalah hal yang dilarang oleh Allooh سبحانه وتعالى, karena bermakna Tasyabbuh (meniru) orang-orang yang kaafir dan faasiq.
Perkara yang akan kami sampaikan adalah berkenaan dengan masalah yang didalam KitabImaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله diberi judul “Al Ghinaa’u War Roqshu” (Tentang Bernyanyi dan Berjoget).
Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله memaparkan hal ini didalam Kitabnya, bahkan sampai beberapa halaman, yakni dari halaman 99 sampai dengan 113, yang penuh dengan daliil-daliil yang akan kita bahas sebagiannya kali ini. Daliil-daliil tersebut terdiri dari Al Qur’an, Hadits-Hadits Shohiih Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan Pendapat para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yang mu’tabar. Mudah-mudahan setelah kami paparkan keterangan Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله ini, kita sebagai kaum Muslimin menjadi sadar, mengetahui dengan jelas, serta menjadi tidak mau untuk melakukan perkara yang sesungguhnya oleh Syar’i diharomkan.
Kami sampaikan beberapa perkataan dari beliau, Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, mengingat beliau رحمه الله adalah Imaam daripada para Imaam Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, terutama yang bermadzab Syaafi’i (Syaafi’iyyun), sehingga beliau رحمه الله adalah ‘Ulama yang sangat dekat di hati orang-orang Indonesia.
Kata beliau Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, “Bahwa diantara jenis-jenis Bid’ah yang buruk itu ada dua, yaitu:
1. Berkenaan dengan ‘Aqidah, yang menyampaikan seseorang kepada kesesatan dan kerugian,
2.    Perkara-perkara yang termasuk Bid’ah, yang bersifat ‘amaliyyah.
Diantara perkara-perkara tersebut, yaitu ‘amaliyyah yang dilakukan oleh kaum Muslimin, padahal itu adalah termasuk Bid’ah yang buruk adalah apa yang diada-adakan berkenaan dengan mendengarkan Al Ghinaa (Nyanyian), War Roqshi (dan Berjoget), Wal Wujdi(dan kepuasan dengannya).
Kata beliau رحمه الله, “Orang yang melakukan perkara tersebut (menyanyi, mendengarkan musik, berjoget) adalah jatuh muruu’ah-nya.”
Yang dimaksud muruu’ah adalah adab atau etika yang ada pada diri orang tersebut itu lah yang jatuh. Berarti, orang tersebut tidak lagi tergolong punya etika. Sehingga orang tersebut, persaksiannya ditolak. Jadi orang yang suka menyanyi, mendengarkan musik dan berjoget, didalam Islam itu adalah semestinya tidak boleh menjadi saksi, karena ia telah tergolong orang yang berma’shiyat kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan berma’shiyat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dan itu adalah perbuatan yang mahdzuur (melanggar), yang Harom.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Luqman (31) ayat 6:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Artinya:
Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak bergunauntuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allooh tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allooh itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Kata “Yasytari” (يَشْتَرِي) artinya adalah membeli. Artinya, mendapatkan sesuatu dengan membayar sebagai imbalannya.
Sedangkan perkataan “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ), menurut perkataan Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه, dan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari kalangan Taabi’iinseperti ‘Ikrimah, Mujaahid, Al Hasan Al Bashri, Sa’iid bin zubaiir, Qotaadah Ibnu Da’aamah As Saduusi, Ibroohiim An Nakho’i رحمهم الله; mereka semua sepakat menafsirkan kata “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) sebagai Al Ghinaa (Nyanyian, bernyanyi).
Nyanyian atau bernyanyi itu, maka yang tersangkut didalamnya adalah beberapa faktor, yaitu si Penyanyi, Alat Musik, Orang yang Berjoget, Orang yang mendengarkan (menikmatinya) dan medianya yakni studio rekaman, radio, TV dan seluruh media yang menebarkan perbuatan tersebut.
Ayat tersebut diakhiri dengan kalimat “Liyyudhilla ‘an sabiilillaah” (لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ), yang maknanya: untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allooh سبحانه وتعالى.
Jadi, ternyata berdasarkan pemahaman para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah (Salaful Ummah), di kalangan Shohabat dan Taabi’iin, mereka mengatakan bahwa: Ada sebagian manusia yang membeli nyanyian dengan harta yang mereka miliki; dimana nyanyian itu madhorotnya jelas sekali yaitu agar menyesatkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى.
Dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abbas رضي الله عنه, yang muridnya antara lain adalah Ikrimah, menterjemahkan “Lahwal Hadiitsi” sebagai “Al Ghinaa’u Wa Asbaahuhu”  (الغناء وأسبابه),yaitu: Nyanyian dan yang sejenisnya.
Maksudnya, dari jenis apa saja yang berfungsi untuk menyesatkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى.
Ada lagi, dengan sanad yang lain dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abbas رضي الله عنه, maksudnya adalah: Al Ghinaa Wanahwuuhu (الغناء ونحوه), yaitu: Nyanyian dan yang sejenis dengannya.
Juga Al Ghinaa Wa Al Istima’ ilaihi (الغناء والاستماع إليه ), yaitu Nyanyian dan yang mendengarkan nyanyian.
Dari Shohabat Jaabir bin ‘Abdillaah رضي الله عنه, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud “Lahwal Hadiitsi” adalah “Al Ghinaa Wal Istima’u Ilaihi (الغناء والاستماع إليه), yaitu: Nyanyian dan yang mendengarkan nyanyian. Sama dengan penafsiran diatas. Dan beliau رضي الله عنه juga menjelaskannya sebagai Al Ghinaa Wa Kullu Lahwin (الغناء كله لغو ), yaitu Nyanyian dan setiap sesuatu yang melalaikan.
Dan penafsiran lain dari “Lahwal Hadiitsi” menurut ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ahadalah “Al Mughanni Wal Mughanniyah bil Maalil Katsiir Wal Istimaa’u Ilaihi Wa Ilaa Mitslihii Minal Baathil”, artinya: Biduan dan biduanita dengan harta yang banyak dan yang mendengarkannya, dan kepada sejenisnya dari perkara-perkara yang baathil.
Yang tersebut diatas adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Sebagian dari perkataan para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yakni ‘Abdullooh bin Mas’uud, ‘Abdullooh bin ‘Abbas, Jaabir bin ‘Abdillaah رضي الله عنهم. Dan sebagiannya lagi adalah dari perkataan para Taabi’iin yakni Ikrimah, Mujaahid, Al Hasan Al Bashry, Zaid bin zubair, Qotadah dan Ibrohim رضي الله عنهم. Jadi, cukuplah menjadi landasan bagi kita untuk memahami apa yang menjadi Tafsiran Al Qur’an menurut generasi terbaik dari ummat Islam dan generasi yang paling paham terhadap Al Qur’an itu, yakni para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم danTaabi’iin; dimana mereka mengatakan bahwa ayat tersebut maksudnya adalah Nyanyian, Musik dan sejenisnya. Itulah sesuatu yang harus kita (kaum muslimin di zaman sekarang) ini mengetahui dan menyadarinya.
Kedua, Ayat Al Qur’an yang merupakan daliil dari haromnya menyanyi, masih menurut Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, adalah QS. An Najm (53) ayat 61:
وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Artinya:
Sedang kamu melengahkan(nya)?”
Menurut penafsiran dari Shohabat ‘Abdullooh bin ‘Abbas رضي الله عنه, beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “saamiduun” (سَامِدُونَ) adalah Al GhinaaNyanyian.
Kalau dari sisi Hadits, maka perkataan beliau  tersebut didapati antara lain didalam Kitab Al ‘Aadaabul Mufrood, dalam Kitab Talbiis Ibliis, dalam Kitab Tafsir Ibnu Jariir Ath Thobary, dalam Kitab As Sunnan Al Kubro, dalam Kitab Al Qurthuby, dll. Para ‘UlamaAhlus Sunnah Wal Jamaa’ah menafsirkan perkataan “saamiduun” (sesuatu yang melengahkan) dalam ayat 61 surat An Najm tersebut dengan makna: Nyanyian.
Berikutnya diriwayatkan oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari kalangan Taabi’iin, diantaranya adalah Mujaahid Ibnu Jabr رضي الله عنه, beliau menjelaskan bahwa apabila orang Yaman mengatakan ungkapan dalam bahasa Arab “saamadaa fulanun”, maka artinya adalahGhana, Nyanyian. Penjelasan-penjelasan tersebut bida kita ambil dari tafsir-tafsir yang ma’tsuursebagaimana telah dijelaskan diatas.
Ketiga, firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Isroo’ (17) ayat 64:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُوراً
Artinya:
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.”
Kata “bishoutika” (بِصَوْتِكَ) dalam ayat tersebut oleh Imaam Mujaahid bin Jabr رضي الله عنه dari kalangan Taabi’iin, ditafsirkan sebagai Al Ghinaa wal Mazamir (nyanyian dan seruling). Dan menurut cerita ‘Abdullooh bin ‘Umar  رضي الله عنه, kata beliau :
Pada suatu hari aku bersama Ibnu ‘umar pada suatu jalan, kemudian terdengarlah suara seruling penggembala, maka ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه meletakkan kedua telunjuknya pada lubang kedua telinganya dan kemudian berpaling (menghindar) dari jalan itu.”
Jadi, ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه segera menutup telinga ketika mendengar suara seruling penggembala dan menghindari suara seruling tersebut. Inilah sikap para ‘Ulama Salafus Shoolihberkenaan dengan Nyanyian.
Selanjutnya ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه mengatakan, “Aku melihat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ketika mendengar suara seruling penggembala, beliau melakukan seperti apa yang aku baru saja lakukan, wahai saudaraku.”
Berikut ini adalah suatu Hadits Shohiih yang diriwayatkan oleh Al Imaam Al Bukhoory dalamShohiihnya no: 5268. Kata beliau dari Shohabat Abu Maalik Al Asy’ary رضي الله عنه, bahwa ia mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Artinya:
Akan dijadikan halal oleh ummatku emas, sutera, khamr (minuman keras) dan Al Ma’aazif.”
Ibnul Mandzur رحمه الله dalam Kitabnya Lisaanul A’roob menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Al Ma’aazif (jamak dari kata Mi’zaf) adalah Al MalaahiMalha, yakni sesuatu yang membuat orang lalai.
Termasuk didalamnya adalah alat-alat yang dipukul seperti misalnya: Tambur (gendering), drum, gendang. Duf (rebana), ‘Uud (gitar).
Dalam bahasa Arab, kalau orang mendengar kata ‘Aazif maka artinya adalah Alat musik dan penyanyinya.
Al Imaam Ibnu Hajar Al Asqolaany رحمه الله dalam Kitabnya Fathul Baari, yang merupakan penjelas dari Kitab Shohiih Imaam Al Bukhoory, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “Al Ma’aazif” dalam Hadits ini adalah
1)   Alat-alat Lahwun, yakni sesuatu yang tidak berfaedah dalam pandangan Syar’ie  atau dalam pandangan Wahyu.
2)   Dan dikatakan juga bahwa makna lain dari “Al Ma’aazif” adalah Aswat ‘alaa Malaahi, yaitu suara yang tidak ada faedahnya atau tidak terpuji.
3)   Makna ketiga, adalah: Duf (rebana) dan selainnya yang dipukul, yang selanjutnyadikenal sebagai Nyanyian.
Kata “Al Ma’aazif” yang kita kenal dalam Hadits tersebut adalah berkaitan dengan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ
Layakununna mi ummati akwaamun yastahillun”.
(Akan terjadi pada ummatku dimana mereka menghalalkan yang Harom)
Yastahillun” dalam ilmu Shorof bermakna “Menghalalkan”. Kalimat “Menghalalkan”, bisa dipahami dengan dua perkara:
-       Pertama, Meyakini halalnya
-       Kedua, Membiasakan dalam hidupnya bahwa seolah-olah itu halal
Jadi pengertian yang dapat dipetik dari Hadits tersebut adalah: “Ummatku kelak akan menganggap halal, apakah menganggap halal itu dengan keyakinannya bahwa itu adalah tidak harom, diyakini kehalalannya; ataukah ia tahu bahwa hal itu harom tetapi ia membiasakannya, karena menganggapnya boleh-boleh saja.”
Kedua pemahaman tersebut adalah menyimpang dari yang benar. Bahkan pemahaman pertama adalah sangat keliru dan baathil, karena apabila ada suatu nash yang mengharomkan perkara tersebut, lalu ia menyatakan halalnya, maka berarti ia telah mengubah hukum Allooh سبحانه وتعالى dari harom menjadi halal. Dan itu menyebabkan seseorang menjadi kufur. Hal ini bukan masalah yang kecil, karena berarti telah melanggar apa-apa yang telah diharomkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dengan demikian jelaslah, bahwa dari 3 ayat Al Qur’an dan 2 Hadits yang Shohiih, telah dijelaskan kepada kita semua bahwa Al Ghinaa, Nyanyian, Musik dan Alat-Alat musiknya itu hukumnya adalah Harom.
Kemudian kembali dijelaskan oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله  dengan kata-kata beliau رحمه الله sebagai berikut: “Jika ini hanya dilakukan oleh orang dengan mendengarkan maka orang itu tidak keluar dari keseimbangan hidupnya, hanyalah sebatas mendengar; namun bagaimanakah halnya jika orang itu mendengar suara orang yang hidup pada zaman ini dengan seruling mereka?”
Yang dimaksud dengan perkataan “…zaman ini…” dalam penjelasan Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله diatas adalah zaman dimana Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله hidup, yakni pada abad ke-9 Hijriyah. Padahal kita sekarang hidup di abad ke-15 Hijriyah. Berarti bila dihitung dengan zaman dimana beliau رحمه الله hidup adalah berselisih sekitar 6 abad atau 600 tahun yang lalu.
Berarti 600 tahun yang lalu Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله telah mengingkari (menentang) Nyanyian dan Musik pada masa beliau hidup. Lalu bagaimana pula dengan kehidupan di zaman kita sekarang ini, dimana kema’shiyatan dalam perkara Nyanyian dan Musik ini sudah sedemikian maraknya dalam berbagai sisi kehidupan masyarakatnya, sehingga dianggap sebagai hal yang lumrah oleh masyarakatnya, dan kema’shiyatan ini pun didukung pula oleh aneka teknologinya, mulai dari Handphone, Televisi, Radio dsbnya?
Apabila Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله membandingkan zaman beliau hidup dengan zaman-zaman sebelumnya, yang dianggapnya Nyanyian dan Musik itu telah menjadi kema’shiyatan yang sangat dahsyat pada zaman beliau رحمه الله hidup, maka bagaimana pula dengan zaman kita hidup sekarang ini?
Oleh karena itu wahai kaum muslimin, hendaknya kita ridho terhadap apa yang telah Allooh سبحانه وتعالى firmankan dan telah disabdakan oleh Rosuullooh صلى الله عليه وسلم, untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Dan hendaknya kita sadari bahwa Nyanyian dan Musik adalah bukan dari ajaran Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, walaupun mereka berkilah dengan menggunakan nama “Nasyid Islami”, namun sadarilah bahwa itu semua justru bisa menyesatkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى. Manusia dijadikan berpaling dari Al Qur’an (Kalamullooh) dan dijadikan sibuk dengan Nyanyian dan musik yang melalaikan, bahkan walaupun hal itu ditampakkan indah dalam pandangan manusia dengan penggunaan nama yang menipu seperti “Nasyid Islami” sekalipun. Bukankah tidak dapat dipungkiri bahwa apabila mendengarkan Nyanyian walaupun disajikan dengan kedok bernama “Nasyid Islami” sekalipun, maka hati manusia akan lebih terpaut dengan irama musiknya, dan lalai dari merenungkan makna Kalamullooh (Al Qur’an), lalai dari membahas hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى. Maka demikianlah, syaithoon menipu manusia, mengajak manusia menjauh dari Al Qur’an. Al Qur’an hanya dijadikan sekedar sebagai suatu nama, tanpa dipahami dan dikaji isinya. Renungkanlah, adakah manusia yang dapat memahami hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى melalui suatu Nasyid?
Dan renungkan pula penjelasan Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله diatas bahwa seorang Muslim itu fitroh asalnya semestinya hatinya adalah menjadi tenang dikala ia berdzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى. Namun hal ini bergeser, sehingga mereka malah merasa tidak tenang hidupnya dan tidak seimbang hidupnya dikala ia tidak mendengarkan musik. Ia merasa tidak bisa lepas dari musik dalam berbagai kegiatan hidupnya sehari-hari. Ia merasa tidak “fresh” bila tidak mendengarkan musik. Maka perhatikanlah, bahwa jeratan Syaithoon telah berhasil menjaringnya. Karena Syaithoon berusaha menjauhkan manusia dari dzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan memerangkapnya dengan berbagai perkara yang melalaikan antara lain dengan Nyanyian dan Musik tersebut.
Lalu Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله meneruskan dengan penjelasannya sebagai berikut bahwa: Kalau ada orang-orang yang termasuk biduan (penyanyi) dan biduan itu adalah budak-budak, karena ketika itu adalah zaman Khilafah Islamiyyah, dan ada pemerintahan Islam, maka hukumnya adalah Harom membeli budak yang termasuk seorang biduan. Dan harga jual belinya pun terhukumi Harom.
Dengan demikian, jika diqiaskan pada masa sekarang adalah bahwa : Orang yang hidup dari usaha Menyanyi, Musik, Alat-Alat Musik dan sejenisnya terhukumi Harom penghasilannyasebagaimana telah dijelaskan oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله. Hadits-Hadits dan atsar perkataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah sehubungan dengan hal ini adalah sangat banyak, namun menurut Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, bukanlah disini tempatnya untuk menyebutkan semua larangan yang berkenaan dengan hal tersebut satu per satu, karena Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله menjelaskan dengan singkat bahwa perkara yang dibahasnya adalah berkenaan dengan perintah ber-Ittiba’ (mengikuti Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) dan larangan berbuat Bid’ah.
Kata beliau, Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله: “Ketahuilah olehmu semoga Allooh سبحانه وتعالى memberikan Taufiq agar engkau taat kepada Allooh سبحانه وتعالى. Bahwa syair, lirik dan bait-bait lagu yang dinyanyikan oleh para biduan hari ini (– di zaman hidupnya Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله –), dimana melalui nyanyian-nyanyian tersebut mereka menggambarkan sesuatu yang indah-indah tentang khamr, tentang mata dan sebagainya, yang bisa menggerakkan tabiat manusia dan mengeluarkan manusia dari keseimbangan dirinya, bahkan membuat orang menjadi bergairah untuk senang dan gemar terhadap lahwun(sesuatu yang tidak berfaedah dalam pandangan Syar’i), maka hukumnya adalah Harom.”
Kata “Harom” yang kita sering dengar, janganlah dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja, sebab “Harom” itu maknanya besar sekali. Orang yang melanggar sesuatu yang Harom, maka ia sesungguhnya termasuk orang yang berdosa, bahkan jika ia sering melakukannya, maka ia termasuk pelaku dosa besar. Na’uudzubillaahi min dzaalik.
Lalu oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله dibawakan perkataan dari Imaam Ath Thobari Ibnu Jariir رحمه الله dimana beliau mengatakan dalam Kitabnya yang berjudul KitabTafsir Ibnu Jariir : “Sepakat diantara para ‘Ulama dari berbagai pelosok negeri untuk meng-Haromkan Al Ghinaa (nyanyian) dan melarangnya.
Berarti para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah di zaman Al Imaam Ath Thobari Ibnu Jariir رحمه الله telah sepakat untuk meng-Haromkan Nyanyian.
Kemudian Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله meneruskan: “Walaupun ada yang mengatakan bahwa nyanyian itu mengajak supaya orang berbuat zuhud, tetap yang demikian itu adalah termasuk yang dilarang. Itu adalah tambahan-tambahan yang buruk. Hindarilah wahai saudaraku, ikutilah mereka orang-orang Salafus Shoolih.”
Lalu disampaikan oleh beliau perkataan dari ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه: “Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati seseorang, sebagaimana air telah membuat suburnya tumbuhan, rumput-rumputan yang hijau.”
Jadi, walaupun ada orang yang berdalih dengan menyatakan bahwa “Nyanyian itu supaya mengajak orang berbuat zuhud”, bila di zaman kita sekarang adalah sebanding dengan yang dinamakan sebagai “Nasyid Islami” dan sejenisnya; maka menurut Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, tetap saja itu termasuk perkara yang dilarang di dalam Islam,sebagaimana penjelasan Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه bahwa nyanyian itu menimbulkan kemunafikan pada hati seseorang.
Tentu kita harus mengetahui dan menyadari bahwa tumbuhnya kemunafikan didalam hati manusia itu adalah seperti tumbuh suburnya rumput yang hijau, tetapi secara tidak terasa dan tidak kelihatan. Nyanyian dapat membuat seseorang menjadi munafiq, tanpa disadarinya. Diantara tanda munafiq adalah suka mendengarkan nyanyian, suka musik dan meninggalkan Al Qur’an (Kalamullooh). Bahkan akan kita ketahui pula bahwa tanda dari orang munafiq itu adalah suka terhadap pujian.
Diantara perkataan para ‘Ulama berkenaan dengan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Seseorang bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad رضي الله عنه, beliau adalah cucu Abu Bakar As Siddiq رضي الله عنه, berkenaan dengan masalah Al Ghinaa. Maka beliau menjawab, “Aku larang kalian dari (nyanyian) itu, aku benci kalian melakukan itu (nyanyian).”
Lalu seseorang bertanya lagi, “Apakah itu Harom?”
Jawab beliau, “Wahai saudaraku, jika engkau tahu bahwa Allooh sudah membedakan antara yang Haq dan yang Baathil, lalu dimanakah letak nyanyian itu?”
Jawaban Al Qasim bin Muhammad رضي الله عنه adalah justru berupa pertanyaan lagi, yang menunjukkan jelasnya bahwa Nyanyian itu tidak ada kemungkinan termasuk sebagai perkara yang Haq. Jadi, jelaslah bahwa Nyanyian tergolong sebagai yang Baathil.
Yang sangat memprihatinkan adalah justru di zaman kita hidup sekarang ini, Nyanyian itu dijadikan sebagai bagian dari budaya Islam; padahal Nyanyian telah jauh-jauh hari diingkari oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dan digolongkan sebagai kema’shiyatan.
Lalu bila sebagian kalangan di masyarakat kita di zaman sekarang ini berdalih bahwa mereka mengadakan “Nasyid Islami” itu untuk membantu dakwah, maka sadarilah: “Bagaimanakah engkau berdakwah (menyeru manusia ke jalan Alloohسبحانه وتعالىdengan sesuatu yang dibenci dan di-Haromkan oleh Allooh سبحانه وتعالى?” Tentu tidaklah mungkin !!
‘Umar bin ‘Abdul Aziz رضي الله عنه (yang oleh Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله dikatakan sebagai Khaliifah yang ke-5) menuliskan sebuah surat kepada guru yang mengajar anaknya, sebagai berikut:
Ajarilah kepada mereka, anak-anak itu dan jadikanlah sesuatu yang harus diyakini bahwa hendaknya mereka benci pada sesuatu yang tidak berfaedah. Yang mana hal itu adalah permulaannya dari syaithoon, sehingga hal itu dianggap nikmat, dianggap mensejahterakan bathin seseorang, padahal itu adalah syaithoon yang menghiasinya pada manusia. Menghadiri dan mendengarkan Al Ma’aazif adalah menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana rumput-rumputan telah ditumbuhkan oleh air. Aku bersumpah agar engkau, wahai Guru, menjauhkan anak-anak itu dari hadirnya mereka ke tempat-tempat yang seperti itu.”
Lalu ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yang juga merupakan seorang Qodhi (Hakim) pada masanya, yakni Al Fudhail bin ‘Iyaadh رحمه الله, beliau berkata: “Al Ghinaa ruqyatuzzina(Nyanyian adalah jampi-jampi yang membawa orang untuk berzina).”
Hal ini tidak bisa diingkari. Bermula dari Nyanyian, lalu seseorang mulailah mengkhayalkan sesuatu, lalu berakhirlah dengan zina. Baik zina yang dilakukan oleh dirinya sendiri ataupun zina sebagaimana yang sekarang banyak dilakukan dan tersebar dimana-mana, dimana para biduan dan biduanitanya memakai pakaian yang terbuka aurotnya serta berbagai kemunkaran lainnya.
Berkata Adhdhohhaak رحمه الله, seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari kalanganTaabi’iin, bahwa: “Yang disebut dengan Nyanyian adalah merusak hati dan membuat Alloohسبحانه وتعالى murka.
Berkata Yaziid Ibnul Waliid رحمه الله. “Wahai Bani Umayyah, berhati-hatilah dan hindarilah oleh kalian dari Al Ghinaa (Nyanyian). Sesungguhnya Nyanyian itu akan menambah kepada seseorang syahwat dan kemudian meruntuhkan muruu’ah (rasa malu yang dimiliki orang tersebut), dan menggiring seseorang kepada khamr dan apa yang dilakukan oleh para pemabuk.
Kalau kita perhatikan maka orang-orang yang berjoget itu adalah laksana orang yang kehilangan akal (gila), atau mungkin memang sebelumnya mereka telah meminum khamr atau narkoba, sehingga mereka melakukan gerakan-gerakan yang ia tidak sadari bahwa hal itu merupakan bagian dari kekonyolan dan bagian dari unsur Junuun (gila).
Imaam Ahmad bin Hanbal رحمه الله juga mengatakan bahwa: “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan didalam hati.”
Lalu beliau ditanya, bagaimanakah tentang mendengarkan Qasidah-qasidah?
Dalam bahasa Arab, Qasidah artinya adalah untaian syair atau pembacaan puisi. Jadi Imaam Ahmad bin Hanbal رحمه الله ditanya bagaimana tentang mendengarkan pembacaan puisi, maka beliau mengatakan, “Aku membenci yang demikian itu. Itu adalah Bid’ah dan kelalaian. Janganlah duduk bersama mereka.”
Demikianlah ketegasan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah terhadap perkara Nyanyian. Hal ini bukanlah karena seorang Ahlus Sunnah anti terhadap peradaban, tetapi karena bila perkara Nyanyian itu dikaitkan dengan dienul Islam, maka akan berbenturan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى serta berbenturan dengan rambu-rambu yang telah diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Lalu diriwayatkan pula oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, bahwa Ishaq Ibnu ‘Isa bertanya kepada Imaam Maalik رحمه الله, dimana pada zaman mereka itu Al Ghinaa (Nyanyian) itu sudah mulai ada dan mulai masuk ke wilayah Madinah.
Maka Imaam Maalik رحمه الله, Imaam Ahlul Madinah dan ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ahmenjawab ketika beliau ditanya tentang masalah Al Ghinaa, “Menurut kami, yang melakukan nyanyian itu adalah mereka orang-orang yang disebut Al Fusaq (orang-orang Faasiq).”
Berarti menurut Imaam Maalik رحمه الله, orang-orang yang menyanyi itu adalah orang-orang yangFaasiq.
Imaam Ath Thobari رحمه الله, salah seorang Imaam Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, dan beliau adalah Ahli Tafsir yang masyhur, beliau berkata, “Imaam Maalik رحمه الله melarang kita mendengarkan nyanyian. Dari menyanyinya, mendengarkannya, beliau melarang. Apabila ada orang yang membeli budak (hamba sahaya), dan ternyata budak tersebut adalah seorang biduan, maka budak itu harus dikembalikan karena ia sudah cacat.”
Imaam Abu Hanifah , salah seorang Imaam Madzab yang Empat, beliau mengatakan bahwa beliau membenci nyanyian; dan mendengarkan nyanyian adalah bagian dari dosa.
Semua ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari Kuufah, seperti Ibrohim An Nakhaa’i , As Sya’bi, Hammad, Sofyan Ats Tsauri رحمهم الله, mereka mengatakan bahwa nyanyian adalah termasuk dosa dan bagian dari ma’shiyat. Tidak dikenal seorang pun dari mereka yang menyelisihi haromnya musik dan nyanyian.
Imaam Asy Syaafi’iy رحمهم الله, yang demikian dekat di hati orang-orang Indonesia yang kebanyakan ber-madzab Syaafi’iy, mengatakan: “Aku datang ke sebuah negeri Iraq, lalu aku mengetahui disana ada budaya yang diada-ada oleh orang Zanaadiqoh (orang-orangZindiq atau Munaafiq), yaitu nyanyian. Bahkan yang demikian itu telah menyibukkan mereka dari Al Qur’an.
Lalu beliau رحمهم الله mengatakan, “Al Ghinaa’u huwa maqruunun yusbihul baathil(Nyanyian itu adalah makruh, mendekati baathil).”
Yang disebut “makruh” pada zaman beliau yakni zaman sebelum abad ke-3 Hijriyah maka “makruh” menurut mereka itu (‘Ulama Mutaqoddimiin) hukumnya adalah Harom. Tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa makruh adalah bila dilakukan itu tidak berdosa dan bila ditinggalkan adalah berpahala. Pendapat yang seperti ini adalah datangnya dari ‘Ulama belakangan (Mutaa’akhiriin). Tetapi pada zaman Imaam Asy Syaafi’iy رحمهم الله dimana beliau hidup di abad ke-2 Hijriyah, maka yang dimaksud dengan “makruh”, menurutnya adalah Harom dan mirip dengan baathil.
Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله mengatakan, “Itulah perkataan ‘Ulama dalam masalah nyanyian.” Lalu beliau رحمه الله mengatakan bahwa yang termasuk diharomkan adalah: Hadirnya wanita, Duf (rebana), Syababab (sejenis gitar) dan lain-lain kemunkaran sejenisnya.
Berkata Syaikh Jamaluddin Abul Kharaj Ibnul Jauzi: “Berapa banyak orang terfitnah karena suara nyanyian. Jangankan orang faasiq, orang yang termasuk zuhud dari dunia pun terkena. Orang yang ahli ibadah pun akan ikut terpaut hatinya, tergoda dengan nyanyian.”Katau beliau selanjutnya, bahwa telah beliau sebutkan contoh-contoh itu semua dalam kitab yang berjudul Dzam Al Hawa, yang didalamnya dijabarkan tentang Hukum-Hukum Syari’at terhadap perkara Nyanyian.
Lalu kata Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله: “Hendaknya orang yang berakal menasehati dirinya, saudaranya dan mengajak mereka agar terhindar dari tipudaya syaithoon.
Kalau saja tidak khawatir menjadi berkepanjangan pembicaraan mengenai masalah Nyanyian ini, saya akan tambahkan lagi berbagai penjelasan tentang apa yang ada dalam masalah ini. Tetapi bagi orang yang berakal dan cerdik, orang yang Allooh سبحانه وتعالى berikan Taufiq, dan orang yang menerima nasehat, tentu akan mengikuti nasehat tersebut walaupun dengan isyarat yang pendek.
Muslimin dan Muslimat yang dirahmati oleh Allooh سبحانه وتعالى,
Mudah-mudahan kita termasuk orang yang mau menerima nasehat. Dan penjelasan yang telah diuraikan diatas adalah sebagai isyarat. Adakah kita mau menerima isyarat tersebut ataukah tidak? Adakah kita mau menerima tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم atau lebih suka pada hawa nafsu? Ibarat lampu lalu lintas, maka ini adalah suatu lampu merah dimana kita hendaknya berhenti dari kema’shiyatan tersebut, bila telah datang dalil berupa Al Qur’an dan Hadits-Hadits Shohiih serta penjelasan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah tentangnya.
Ada beberapa madhorot, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allooh سبحانه وتعالى tentang masalah menyanyi, yaitu:
1.    Mukholafatul Qur’aani Was Sunnah, bukan lagi merupakan suatu Bid’ah, melainkan terang-terangan melawan apa yang telah diharomkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan yang diharomkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
2.    Nyanyian menumbuhkan kemunafikan didalam hati manusia. Nyanyian mengganggu para ahli ibadah. Mengganggu orang-orang yang tadinya tidak tergiur dengan masalah dunia, lalu karena mendengar suara musik dan nyanyian tersebut maka mereka menjadi tergoda dan terpukau, lalu pada akhirnya menjadi orang yang tertarik dan cinta pada dunia dan melalaikan untuk mempelajari Al Qur’an dan hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى. Dan ini adalah berbahaya.
3.    Menjauhkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى. Orang yang tadinya mendengar dan betah terhadap Al Qur’an, maka dengan Nyanyian ia pun menjadi lebih terlena dengan suara musik dan Nyanyiannya, lebih dekat pada hawa nafsunya, sementara dalam Al Qur’an itu ada aturan kehidupan, tetapi manusia lalu menjadi tidak mau diatur oleh Allooh سبحانه وتعالى dan lebih cenderung untuk mengikuti hawa nafsu dirinya.
4.    Menjauhkan manusia dari keseriusan (Serius dalam ibadah, serius dalam mencari kebaikan dunia dan akhirat, serius berjihad, dsbnya). Tetapi Nyanyian itu akan membawa kepada ma’shiyat, dan ini tidak boleh terjadi.
Karena besarnya kemadhorotan Nyanyian, maka para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah sejak zaman dahulu sudah mewanti-wanti, memberi peringatan keras kepada kita agar tidak tergiur dengan Nyanyian. Maka waspadalah wahai kaum muslimin, bila kalian hendak menjaga dienkalian, maka hendaknya mengikuti apa yang telah dinasehatkan baik didalam Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم serta oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah yang mu’tabar. Mudah-mudahan kita selalu puas dengan apa-apa yang telah ditunjukkan jalannya yang lurus oleh Al Qur’an dan As Sunnah.
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
Seperti kita ketahui bahwa menurut riwayat, maka Sunan Drajat itu adalah seorang seniman. Beliau menyebarkan agama Islam di Jawa dengan syair-syair dan nyanyian-nyanyian. Bagaimana kita menyikapi hal tersebut, selain banyak juga seniman-seniman Islam yang berdakwah dengan karya seni suara?
Jawaban:
Kalaupun memang benar riwayat itu ada pada salah seorang pendakwah Islam di Pulau Jawa ketika itu, dan ada pula pendakwah lain yang menggunakan musik, nyanyian, wayang atau wayang golek atau apa saja yang bermakna musik dan nyanyian untuk dijadikan sebagai media dakwah; maka tetaplah yang kita ikuti adalah Rosuululloohصلى الله عليه وسلم. Apa sebabnya? Karena Al Qur’an telah melarang Nyanyian. As Sunnah telah melarang Nyanyian. Maka kalau ada seseorang yang berdakwah, mengajak orang kepada Islam, namun jalan dan cara-cara berdakwah yang digunakannya tidak sesuai dengan Syari’at Islam, tidak sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan tidak sesuai dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; maka yang kita ikuti tetaplah Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Walaupun orang yang berdakwah itu dianggap oleh masyarakat sebagai Wali sekalipun, tetapi bila cara-cara dakwahnya menyelisihi tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, maka jangan kita jadikan sebagai patokan. Karena hendaknya yang menjadi panutan kita adalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kalau cara dakwah yang dipakai bukan berasal dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka tetap tergolong berma’shiyat.
Kalaupun itu betul dilaksanakan oleh mereka, maka kita harus mengambil pelajaran bahwa itu adalah cara yang pernah dilakukan dan diterapkan namun merupakan cara yang keliru dan hendaknya tidak ditiru. Dan apabila hal itu dilakukan oleh orang yang sudah berlalu masanya, sudah meninggal, maka bisa jadi baru sampai disitulah ilmu dien yang mereka ketahui pada saat itu. Yang sudah, maka sudahlah, mudah-mudahan mereka diampuni oleh Allooh سبحانه وتعالى. Bagi kita sekarang yang sudah tahu, maka tidak boleh lagi dijadikan sebagai suatu metode dakwah. Karena Nyanyian bukanlah metode dakwah yang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Di zaman sekarang, masih ada sebagian kalangan yang menggunakan metode Nyanyian untuk berdakwah, misalnya mereka menyebut dirinya “Nada dan Dakwah”, ada “Nasyid Islami”, adaQasidah, dll. Tetapi cobalah kita renungkan dengan hati yang jernih, adakah para Mujahid dari kalangan para Salaful Ummah di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, mereka itu mengingat Allooh سبحانه وتعالى, gigih berjihad di medan laga untuk menegakkan kalimat Laa Ilaaha Illallooh Muhammadur Rosuulullooh lalu terbersit di dalam hati dan pikiran mereka untuk mendendangkan Nyanyian dikala mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk berjihad? Tentulah tidak.
Bukankah lebih utama untuk mengingat Allooh سبحانه وتعالى, berjuang untuk menegakkan kalimatLaa Ilaaha Illallooh Muhammadur Rosuulullooh itu dengan membekali diri-diri kita dengan dzikir-dzikir ma’tsuur yang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم? Dengan istighfar, dengan taubat, dengan tawakkul kepada Allooh سبحانه وتعالى, dengan keseriusan dalam hidup untuk mengkaji hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى, karena hidup di dunia ini adalah bagaikan “berjual beli” dengan Allooh سبحانه وتعالى. Bila ingin mendapatkan cinta dan ridho Allooh سبحانه وتعالى, maka tentulah dengan berdzikir dan berdoa pada-Nya, dan bukannya dengan Nyanyian ataupun Nasyid yang diharomkan-Nya.
Pertanyaan:
Apakah hukumnya meng-adzankan bayi yang baru lahir?
Jawaban:
Meng-adzankan bayi yang baru lahir, ada satu haditsnya yang Dho’iif (Lemah). Tetapi karena hadits tentang adzan pada telinga bayi itu periwayatannya ditemukan dari beberapa jalan, maka lalu dikatakan oleh para ‘Ulama bahwa derajat kelemahan dari riwayat-riwayatnya tidaklah dahsyat, satu sama lain saling mendukung. Sehingga para ‘Ulama menyatakan bahwa betul itu suatu hadits dho’iif, tetapi karena dho’iif-nya banyak jalannya, dan satu sama lain satu makna serta saling mendukung, maka dalam ilmu Mustholahul Hadiits, disebut sebagai Hasanun Lighoirihi. Karena Hasanun Lighoirihi, maka termasuk maqbul (boleh) untuk dilakukan atau diamalkan.
Pertanyaan:
Apa hukumnya syair yang merupakan ungkapan pada Kitab-Kitab Tafsir?
Jawaban:
Syair yang ada pada Kitab Tafsir, itu Kitab Tafsir apa? Secara husnudzon, kalau Tafsir itu menjelaskan tentang ayat-ayat Allooh سبحانه وتعالى, dan menjabarkan ayat-ayat Allooh  سبحانه وتعالى, lalu memakai syair atau syi’ir (– perkataan yang benar adalah “Syi’ir –), maka apabila Syi’ir-Syi’ir didalam Kitab tersebut adalah dalam rangka memperkuat apa yang ditafsirkan dan tetap berada dalam koridor kaidah-kaidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, maka yang demikian itu masih termasuk Ja’iz (boleh).
Adapun syi’ir selain yang disebutkan diatas, maka perlu didetailkan lagi; apalagi berkaitan dengan sastra di zaman sekarang. Perlu dicheck terlebih dahulu, adakah isi atau kandungan syi’ir-syi’ir tersebut sesuai dengan Syari’at Islam ataukah malah sudah termasuk kedalam perkara berlebih-lebihan dalam berkata-kata atau bersyi’ir yang dapat menyebabkan jatuhnya seseorang kedalam syirik ataupun Bid’ah? Ini perlu dicheck terlebih dahulu.
Pertanyaan:
1.    Tentang jual beli barang, kalau ada transaksi jual-beli sudah dengan kesepakatan harga, tetapi barangnya tidak cukup jumlahnya dan akan dipenuhi esok harinya atau di lain waktu sesuai dengan perjanjian; maka apakah jual-beli yang demikian itu tergolong sah?
2.    Dalam suatu toko perhiasan, si pembeli membawa contoh model perhiasan yang diinginkan, lalu si penjual menyanggupi akan membuatkan perhiasan seperti contoh model dari si pembeli. Si penjual tidak membuat sendiri, tetapi lalu menyuruh orang lain untuk membuat persis seperti contoh model yang dimaksud. Apakah jual-beli yang seperti demikian itu sah hukumnya?
Jawaban:
1.    Kaidahnya: adalah Harom (tidak boleh) menjual barang yang bukan miliknya. Itu kaidahnya. Termasuk dalam kategori ini adalah menjual barang yang barang itu adalah kepunyaan orang lain. Jelas barang itu bukan milikinya, tetapi ia jual. Itu tidak boleh.
Tetapi bila seseroang penjual yang sudah biasa berjualan sesuatu barang, lalu ia sudah berlangganan dengan seorang distributor misalnya, atau ia sudah biasa berbisnis dengan pihak tersebut; namun suatu saat kebetulan barangnya itu kurang jumlahnya, lalu ia menjanjikan untuk memenuhi keesokan harinya, maka sebetulnya bukannya ia  itu tidak memiliki barang, melainkan ia adalah dzimmah (ذمة) (artinya: Tanggungan). Karena untuk membawa secara keseluruhanstock barang adalah merepotkan, bahkan tidak mungkin. Maka dijanjikannya untuk diantar keesokan harinya, maka yang demikian ini adalah Jaiz (boleh), karena sudah dijamin barangnya akan terpenuhi.
2.    Dalam hal jual-beli perhiasan dimana si penjual memperkerjakan buruhnya, karena perhiasan tersebut perlu untuk dibentuk dan diukir dan sebagainya, maka menyuruh orang lain untuk memenuhi pesanan pembelinya adalah Jaiz (boleh).
Pertanyaan:
Mengenai nyanyian dan musik memang seringkali pelakunya memamerkan aurot dsbnya, namun bagaimana dengan fenomena adanya Da’i yang terkenal di negeri kita ini dimana ia bersama murid-muridnya mengadakan pentas di TV, kelihatannya sopan, santun dan lagu-lagunya juga syahdu. Apakah itu termasuk Harom juga?
Jawaban:
Dari apa yang disampaikan oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله tersebut diatas, maka ada perkataan “Az Zuhdiyaat Al Maliihah”, itu artinya adalah “Kata-kata yang syahdu”. Pada zaman beliau hidup, “Az Zuhdiyaat Al Maliihah” (Kata-kata yang syahdu) itu pun sudah tidak boleh (Harom), apalagi di zaman sekarang yang sudah semakin banyak tambahan-tambahannya.
Maka menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah sebagaimana yang kami sebutkan diatas, apa yang dilakukan oleh siapapun dengan mengatasnamakan dakwah Islam, seterkenal apa pun Da’i tersebut di zaman sekarang, sesering apa pun ia muncul di TV-TV, tetapi bila cara berdakwah yang digunakannya itu tidak sesuai dengan Syari’at Islam; maka tetaplah tidak boleh. Karena apa yang dilakukannya itu tidak ada contoh dan tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Boleh anda cari dalam Siroh (Sejarah Islam), adakah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, paraShohabat, ataupun para Taabi’iinTaabi’ut Taabi’iin dan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yang mu’tabar berdakwah dengan menggunakan unsur musik dan menyanyi? Tidak ada. Oleh karena itu, hendaknya kita mencontoh orang-orang yang sudah jelas diridhoi oleh Alloohسبحانه وتعالى sebagaimana Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Perhatikanlah QS. At Taubah (9) ayat 100 berikut ini:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allooh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allooh dan Allooh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
Muhajirin dan Anshor adalah generasi yang Allooh سبحانه وتعالى ridhoi. Ikutilah cara-cara dakwah mereka, karena mereka itu sudah jelas-jelas mendapat keridhoan dari Allooh سبحانه وتعالى. Adakah para Da’i-da’i di zaman sekarang, walaupun dia sekondang dan sesering apa pun muncul di TV-TV, mendapatkan jaminan cap stempel keridhoan dari Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana Muhajirin danAnshor?
Renungkan pula perkataan Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yakni ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه,
“من كان منكم مستناً فليستن بمن قد مات فإن الحي لا تؤمن عليه الفتنة أولئك أصحاب محمد كانوا والله أفضل هذه الأمة، وأبرها قلوباً وأعمقها علماً وأقلها تكلفاً قوم اختارهم الله لصحبة نبيه وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم وتمسكوا بما استطعتم من أخلاقهم ودينهم، فإنهم كانوا على الهدي المستقيم”
Artinya:
Barangsiapa yang mau mengambil sebagai sunnah, maka ambillah sunnah itu dari orang yang telah mati. Karena orang yang telah mati itu, telah selesai dari fitnah.”
Lalu ditanyakan pada ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه, “Siapakah mereka itu?”
Maka jawab beliau رضي الله عنه, “Mereka ialah para Shohabat Rosuululloohصلى الله عليه وسلم.” (Dinukil dari Kitab ‘Aqiidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah tulisan Al Imaam Al Laalika’i رحمه الله)
Oleh karena itu hendaknya kita mencontoh para Shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم yang telah diridhoi oleh Allooh سبحانه وتعالى, jangan mencontoh kepada orang-orang yang justru cara-caranya tidak sesuai dengan Sunnah dan tidak sesuai dengan para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Pertanyaan:
Setiap bangsa dan negara, biasanya mempunyai lagu kebangsaan. Apakah itu juga tidak boleh?
Jawaban:
Kalau ia bermakna menyanyi, artinya sama saja. Karena munculnya Nyanyian itu dari budaya siapa? Apakah dari budaya Islam? Tidak.
Apakah menyatakan suatu identitas itu haruslah dengan menyanyi? Banyak cara-cara lain untuk menunjukkan suatu identitas, dengan tanpa menggunakan Nyanyian.
Sebetulnya kalau kita kaum Muslimin Indonesia ingin serius, bersungguh-sungguh untuk menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman hidupnya; maka masih banyak identitas lain yang bisa diperlihatkan. Tetapi karena Indonesia bukan semuanya orang Islam, maka pelarangan itu tidaklah bisa untuk umum atau untuk semua orang. Namun, bagi yang Muslim, kenapa tidak mau konsekwen dengan dienul Islamnya?
Pertanyaan:
1.    Dalam riwayat, ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau disambut oleh orang-orang Anshor Madinah dengan lagu-lagu, misalnya: Asraqol Badru ‘Alaina, dstnya. Apakah yang demikian itu tidak ditafsirkan sebagai Nyanyian?
2.    Ketika orang sedang mengadakan kegembiraan misal Walimatul ‘Ursy (Pesta Pernikahan), kalau tidak salah ada Haditsnya bahwa dibolehkan asal lagu-lagunya tidak membawa kepada suatu kema’shiyatan. Bagaimana tentang hal itu?
3.    Untuk lagu-lagu yang bersemangat Jihad, supaya orang bersemagat untuk berjihad, bagaimana dengan lagu-lagu tersebut yang ketika itu dinyanyikan oleh orang Anshor Madinah?
Jawaban:
1.    Lagu yang dimaksud (Nasyid) yang didalam ceritanya merupakan bagian dari penyambutan datangnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dari Mekkah ketika tiba di Madinah itu, oleh Syaikh Akrom Diyaa’ Al ‘Umari, dalam Kitab As siiroh Nabawiyyah Ashshohiihah Jilid I telah di-isbath (dikritisi) bahwa riwayat Hadits tentang adanya Nyanyian dalam penyambutan Hijrah Rosuululloohصلى الله عليه وسلم itu adalah riwayatnya Dho’iif (Lemah). Jadi tidak bisa dijadikan sebagai daliil. Bagi yang tidak puas, maka silakan anda membaca Kitab tersebut yang terdiri dari 2 Jilid. Dan peristiwa tentang Hijrahnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu ada di Jilid I.
2.    Mengenai Ad Duf (rebana) yang dibolehkan oleh Syar’i itu adalah hanya dalam 2 Munasabah, yaitu Walimah dan Hari Raya (‘Ied). Jadi hanya boleh didalam Hari Raya (‘Iedul Fithri atau ‘Iedul Adha), atau Walimah khususnya Walimatul ‘Ursy, dan nyanyiannya tidak boleh yang menggerakkan syahwat.
3.    Berkenaan dengan Jihad, sebenarnya yang dimaksud dengan Nasyid didalam seni ‘Adab(Sastra) adalah seni pembacaan Syi’ir didalam bahasa Arab. Dan itu bukan dalam bentuk Nyanyian atau musik, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sebagian kalangan di negeri kita Indonesia ini. Nasyid untuk jihad, kalau dalam bentuk membaca syi’ir untuk jihad, maka itu boleh. Misalnya sebelum berangkat ke medan jihad, dibacakanlah syi’ir-syi’ir atau pantun atau kata-kata mutiara lalu orang menjadi bersemangat untuk siap mati menghadap Allooh سبحانه وتعالى, maka yang demikian itu adalah boleh.
Tetapi “Nasyid” yang dipahami oleh sebagian kalangan di Indonesia ini sangat jauh bentuknya dari “Nasyid” yang dimaksud oleh seni ‘Adab (Sastra) sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang terdahulu. “Nasyid” di Indonesia adalah berupa nyanyian-nyanyian, dan yang seperti ini maka tidak ada tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم maupun  para ‘Ulama Salafus Shoolih pendahulu ummat ini.
Apabila anda ingin mengetahui yang dimaksud dengan “Nasyid” dalam seni ‘Adab (Sastra) contohnya adalah Nasyid tentang “Kicau Bulbul” berikut ini :
Download:
Bukankah sangat jauh berbeda dengan yang disebut “Nasyid” oleh sebagian kalangan di negeri kita Indonesia ini yang sebenarnya adalah Nyanyian?
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 12 Jumadil Akhir 1426 H – 18 Juli 2005 M.(iik)